Memahami Nilai-Nilai Kearifan Lokal Madura

Masyarakat Madura sudah sepatutnya untuk kembali pada jati diri dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya lokal. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. 

Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur masyarakatnya. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari warga yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praktis konkret untuk memulai; kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik yang nenatinya bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Madura dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya. 

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun karakter di masyarakat? Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal pada gilirannya akan mampu mengantarkan masyarakat untuk mencintai daerahnya. Kecintaan masyarakat Madura pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.

Dalam konteks tersebut, kearifan lokal menjadi relevan. Generasi muda Madura sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat di desanya, kecamatan, dan kabupaten, setelah itu tingkat nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang paling kecil, maka kita bisa mencintai desanya. Apabila mereka mencintai desanya mereka baru mau bekerja di desa dan untuk desanya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak kita kelak. Dengan mempelajari kearifan lokal kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. 

Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan pada anak-anak kita. Sebagaimana terungkap: karkarkar colpe’, abanteng tolang seang are seang malem, sapa atane bakal atana’, sapa adaghang bakal adaghing, barentheng, abanthal omba’ asapo’ angin, alako barra’ apello koneng dll. Bila kerja banyak menghasilkan untung sehingga menjadi kaya, jangan lupa yang miskin atau tidak mampu, karena yang kaya berkewajiban menjadi tulang punggung yang miskin, mon sogi pasogha’ , jangan raja ghuntorra tada’ ojhanna atau menjadi keras ta’ akerres. Untuk itu dalam menjaga martabat keluarga atau kelompok jangan sampai jha’ mettha’ buri’ etengnga lorong, sebab sapenter-penterra nyimpen babathang paste e kaedhing bauna. 

Tentang tatakrama atau budi pekerti disebut sebagai Oreng andhi’ tatakrama reya akantha pesse singgapun, ekabalanja’a e dimma bhai paju, dan sebaliknya yang tidak berbudi disebut ta’tao Judanagara (Judanegara adalah seorang tumenggung di Madura yang sangat baik budi pekertinya, sehingga pantas dijadikan kaca kebbang (contoh teladan) bagi orang yang lain. Orang yang disebut tidak mengenal (ajaran) Judanegara dianggap jauh dari sikap mulia, alias hina)

Andhap asor tampaknya menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya sehingga menjadi raddin atena, bagus tengka gulina. Untuk membangun kebersamaan dalam saloka diungkap bila cempa palotan, bila kanca taretan, untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga mon ba’na etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng.

Andhap asor mensyaratkan kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang harus dimiliki orang Madura. Sehingga bagi orang Madura orang itu tidak dinilai dari segi luarnya tapi hatinya seperti ungkapan raddin atena, bagus tengka gulina. Atau pantun seperti di bawah ini:

Ba’ omba’ tana balina 
Tana temor paseseran 
Ba’jhuba’ teppa’ ghulina 
Panda’ omor ker-pekkeran 

Kehidupan yang harmoni menjadi penekanan kehidupan yang diharapkan dalam rampa’ naong beringin korong, serta ghu’tegghu’ sabbhu’ atau song-osong lombhung, merupakan solidaritas sosial antar warga. Meski kekerasan kerap menjadi indentitas orang Madura seperti carok misal, dalam pandangan orang Madura memiliki tempat tersendiri, karena alasan-alasan tertentu karena perasaan malo akibat harga diinjak-injak sehingga melahirkan carok. Ango’ potea tolang etembhang pote mata atau otang pesse nyerra pesse, otang rassa nyerra rassa, otang nyaba nyerra nyaba yang barangkali menjadi pertimbangan mereka. Sebenarnya semua itu dapat diselesaikan dengan terhormat bila diawali dengan bhak-rembhak yang sebenarnya mengakar kuat dalam masyarakat Madura. 

Contoh diatas merupakan bagian kecil dari pendidikan karakter masyarakat melalui kearifan lokal, yang seharusnya telah dikenal dan atau diperkenalkan dari generasi ke generasi. Karena pada dasarnya kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. (bersambung: Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal)