Jangan Main-main dengan Ludah

D. Zawawi imron

Kenapa seciprat ludah menyebar jadi berita ke seluruh dunia ? Bukankah ludah itu hanya beberapa tetes air yang mirip buih ? Betul. Ludah yang berada di dalam badan, di kerongkongan dan di mulut memang benda cair netral yang tidak bisa dinilai baik buruknya. Bahkan, mungkin ludah itu bermanfaat bagi yang punya.

Ludah yang diludahkan pada tempat yang wajar tidak masalah dan tidak ada hukumnya. Kentut saya meskipun keluar dari dubur, kalau bikin muntah orang, tidak apa-apa. Tetapi, ludah yang sengaja disemprotkan ke wajah dan tubuh orang lain akan menjadi penghinaan yang tidak kalah menyakitkan dari kata-kata kotor berupa caci maki. Meludahi orang lain menjadi lambang kebencian dan kejijikan kepada orang yang diludahi. Berarti orang yang meludahi hatinya sangat marah, geram yang tak terbendung.

Pada sisi lain, orang yang meludahi menunjukkan bahwa ia tidak bisa menahan emosi. Kata  orang Timur, orang seperti itu emosinya mudah dibakar setan. Ketidak mampuan menahan emosi, menunjukkan kepribadian yang goyah. Hatinya mudah digonjang ganjing oleh sesuatu yang menjengkelkan dirinya. Secara moral, orang yang meludahi orang lain bisa dimasukkan pada kelompok orang yang akhlaknya rendah. Budi pekertinya buruk.

Anehnya, ludah yang menjijikkan itu turut menyembur di tengah-tengah arena Euro 2004 yang terhormat itu. Ludah itu disemprotkan playmaker Italia Francesco Totti kearah pemain lawannya, Christian Poulsen dari Inggris. Akibat dari pelecehan itu, Totti kena skors tiga kali pertandingan dari komisi disiplin UEFA. (Jawa Pos 20/6/2004). Hukuman itu wajar dan adil.

Karena itu jangan main-main dengan ludah. Apa lagi kalau ludah yang menjijikkan itu sampai jadi berita internasional. Malu dong, malu dong, kata nyanyian. Kalau kita renungkan, meludahi orang lain itu sebagai tanda kejengkelan, agaknya sudah menjadi bahasa jijik semesta. Tetapi, kalau meludahi orang lain dilakukan oleh orang terhormat, sedikit banyak tentu akan mengurangi kehormatan orang itu.

Dengan jatuhnya vonis skorsing, menunjukkan bahwa pada kehidupan olahraga ada aturan moral atau akhlak. Jika tidak, buat apa ada wasit ? Buat apa ada pluit ? Dalam tatanan moralitas yang sehat, pelanggaran menjadi tabu. Pelanggaran akan dianggap pelakunya lebih menjijikkan dari ludah.

Kalau dalam olahraga ada moral, dalam politik ada moralitas politik. Lalu siapa politikus yang menjalankan moralitas sepanjang jalan karier politiknya? Kita harus hormat kepadanya.

Memang, sampai sekarang belum saya dengar seorang politikus meludahi lawan politiknya. Kalau ada memang keterlaluan. Yang saya pernah baca di koran ada anggota dewan yang saling adu jotos. Agaknya tak puas dengan adu argumentasi memreka memilih gaya Muhammad Ali atau Mike Tyson. Gedung terhormat itu jadi berubah jadi arena sabung bebas. Menjotos orang lain jelas melanggar HAM.

Saya setuju itu demi menghargai martabat kemanusiaan. Pertanda moralitas masih dianggap penting. Tapi masalahnya, pada era sekarang ini masih banyakkah lembaga pendidikan yang secara intensif bisa menanamkan moral ? Kalau sekadar pelajaran moral sih, tentu banyak. Namun yang kita butuhkan adalah pananaman karakter yang positif mihak kepada kemanusiaan dan hak asasi manusia, sehingga bertengkar sesama bangsa atau saling semprot ludah akan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan dan menjijikkan.

 Kita boleh punya tangan, tapi kepalan tangan kita tidak boleh menjotos orang lain; kita boleh meludah dan banyak punya simpanan ludah, tetapi ludah itu tidak boleh disemburkan ke wajah orang lain. Alhamdulillah, kalau dalam Euro 2004 ada ludah menyembur, selama kampanye pemilihan presiden tak ada ludah menyembur sesama pendukung.

Yang ada cuma pelanggaran-pelanggaran yang mudah kita melupakannya. Bukankah kita memang bangsa yang memudah melupakan kesalahan orang lain ? Koruptor kelas kakap pun kita lupakan. Siapa tahu ada yang beranggapan, dosa  korupsi itu lebih kecil ketimbang meludahi orang. Karena itu, jangan main-main dengan ludah, eh, jangan main-main dengan korupsi.