Seniman Jangan Sebatas Sebagai Pelaksana Kegiatan

Saya melihat di kalangan sastrawan kita telah kehilangan moment oleh kegiatan yang sifatnya tidak jelas dan menghabiskan banyak waktu, banyak energi dan bahkan menghabiskan banyak anggaran dengan sia-sia. Seniman dan sastrawan kita terlalu mudah terpancing dengan hal-hal yang bersifat material dari pada kebutuhan moral, seperti tawaran proyek-proyek. Misalnya, kalau ada tawaran pementasan atau pelaksanaan-pelaksanaan peringatan “dalam rangka” lebih antusias daripada membangun proses kreatif berkesenian. 

Celakanya, tingkat keparahan itu makin kental ketika seniman atau komunitas kesenian hanya sebatas kemampuan “pelaksana-pelaksana kegiatan” yang cenderung memperhitungkan “sisa” anggaran. Padahal kita tahu, Pemerintah yang berfungsi sebagai penyandang dana “lebih cerdas” dan tidak proporsional memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan baru terhadap fenomena dan perkembangan kesenian. Akhirnya kesenian kita sekedar jadi alat merealisasi target anggaran.

Pembuktian ini dapat kita cermati saat moment Hari Jadi Sumenep beberapa waktu lalu, yang menurut saya telah terjadi penghamburan sia-sia anggaran kesenian yang dialokasikan dari APBD. Padahal kita tahu, anggaran tersebut adalah diperuntukkan bagi semua aktifitas kesenian di masyarakat, dengan harapan mempunyai dampak yang signifikan terhadap pembangunan kesenian. Model macam ini tentu sangat merugikan aktifitas kesenian kita selanjutnya, yaitu keringnya aktifitas seniman, selain sebatas pelaksanaan peringatan “dalam rangka”.

Kondisi inipun kerap diperburuk oleh kurangnya wawasan para seniman kita, yang rata-rata kurang dan tidak mampu membaca kondisi apa yang akan terjadi diluarnya. Akibatnya, kajian-kajian, telaah dan fenomena kesenian kita makin digelontor oleh kebutuhan-kebutuhan material. Kedangkalan pemikiran ini tentu sangat mengurangi dan bahkan menghancurkan bobot kesenian yang telah menjadi bagian dari proses kehidupan di masyarakat kita. 

Wawasan dan pengetahuan yang luas bagi seniman sangatlah penting. Itu adalah senjata dalam wadah perenungan. Sebagai alat untuk menangkap perubahan yang ada, juga sebagai senjata untuk mengubah apa yang kita renungkan sebagai sebuah karya. Bagaimana kita bisa memenangkan perang kalau kita tidak mempunyai senjata. Inilah yang harus dipikirkan oleh seniman dan sastrawan kita.

Tentu kita tidak berkeinginan lahir kembali seniman-seniman yang melacurkan diri demi kepentingan-kepentingan sesaat. Atau dikotomi kesenian sebagaimana terjadi pada masa lalu, yaitu munculnya predikat seniman plat merah, seniman plat kuning dan seniman plat hitam. Ironisnya tanda-tanda ini pada dekade terakhir ini mulai tampak ke permukaan. Dampaknya, dalam kondisi semacam ini terjadilah marginalisasi kesenian. | habis | berlanjut: Semangat Pemberontakan Diperlukan Seniman