Madura Aktual, Sumenep; Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah bangsawan dan negarawan, karena tugas dan tanggung jawab serta pengabdiannya pada bangsa dan negara.
“Kita ini diangkat dan dipercaya sebagai PNS adalah untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Apabila PNS tidak menjalankan perintah dan aturan negara, sama artinya menghianati bangsa dan negaranya,” ungkap Mohammad Tahirullah (51) salah seorang staf Sub Bag TU, Kementerian Agama (Kemenag) Sumenep, Jawa Timur, Kamis, (30/07/2015), ketika Madura Aktual bertandang di ruang kerjanya.
Ilung, demikian akrab dipanggil sehari-hari, sangat menyayangkan apabila PNS tidak bertanggung pada tugasnya. Bahkan pihaknya kerap menemui sejumlah pegawai maupun guru yang tidak konsisten terhadap tugasnya.
Menurutnya, pemerintah sudah cukup besar memberikan hak terhadap pegawai, utamanya hak terhadap kebutuhan hidup seperti gaji pegawai dan tunjangan lainnya.
“Gaji kita terima dari Pemerintah cukup besar. Apalagi jabatan guru, selain gaji, juga dana sertifikasi dan tunjangan lainnya,” ujarnya.
Yang disayangkan pula, tambah Ilung, status dan jabatan PNS kerap dibangga-banggakan sebagai status sosial tinggi di lingkungan masyarakat. Hal ini menurutnya adalah pemahaman yang keliru.
“Saya melihat ada sementara pihak status PNS dipahami sebagai kebanggaan pribadi atau keluarga. Ini pemahaman yang keliru, status PNS seharusnya menjadi beban moral terhadap lingkungannya,” urai Ilung.
Sebagai PNS yang diberi tangguang jawab sebagai pengelola kepegawaian dan ketatalaksanaan di tempat tugasnya itu, Ilung kerap merasa prihatin bila ada PNS meremehkan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Misal, tambah Ilung, pada saat jam kerja, PNS justru berkeliaran dan bahkan tidak masuk kantor atau tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas.
“Apakah ini tidak disebut menghiati bangsa dan negara. Padahal semua tahu, gaji PNS dibayar atas dasar jam masuk dan jam kerjanya,” katanya.
Di kantornya, Tahirullah dikenal sebagai pegawai yang sedikit bicara, tapi banyak kerja. Tak heran bila sehari-harinya dihadapkan berbagai data dan angka kepegawaian di lingkungan kerjanya.
Ia punya falsafah (Madura) yang menjadi andalan; “lakone lalakonna, kennengngi kenengnganna” (“kerjakan pekerjaanmu, tempati tempatmu”). “Bila prinsip ini diterapkan semua akan berjalan lancar”, ujarnya tersenyum.
Dua kali ia mendapat penghargaan karena prestasinya dari lembaga instansinya sebagai PNS yang kreatif dan konsisten terhadap tugasnya. Hal itu justru menurutnya menjadi beban moral cukup berat, karena penghargaan itu selalu membayangi diri agar berbuat lebih untuk bangsa dan negara.
“Penghargaan prestasi boleh disebut kebanggaan, tapi sebenarnya merupakan cemeti yang setiap saat melecut nurani saya untuk bekerja lebih aktif dan kreatif’” pungkas Ilung berfilsafat. (san)
“Kita ini diangkat dan dipercaya sebagai PNS adalah untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Apabila PNS tidak menjalankan perintah dan aturan negara, sama artinya menghianati bangsa dan negaranya,” ungkap Mohammad Tahirullah (51) salah seorang staf Sub Bag TU, Kementerian Agama (Kemenag) Sumenep, Jawa Timur, Kamis, (30/07/2015), ketika Madura Aktual bertandang di ruang kerjanya.
Ilung, demikian akrab dipanggil sehari-hari, sangat menyayangkan apabila PNS tidak bertanggung pada tugasnya. Bahkan pihaknya kerap menemui sejumlah pegawai maupun guru yang tidak konsisten terhadap tugasnya.
Menurutnya, pemerintah sudah cukup besar memberikan hak terhadap pegawai, utamanya hak terhadap kebutuhan hidup seperti gaji pegawai dan tunjangan lainnya.
“Gaji kita terima dari Pemerintah cukup besar. Apalagi jabatan guru, selain gaji, juga dana sertifikasi dan tunjangan lainnya,” ujarnya.
Yang disayangkan pula, tambah Ilung, status dan jabatan PNS kerap dibangga-banggakan sebagai status sosial tinggi di lingkungan masyarakat. Hal ini menurutnya adalah pemahaman yang keliru.
“Saya melihat ada sementara pihak status PNS dipahami sebagai kebanggaan pribadi atau keluarga. Ini pemahaman yang keliru, status PNS seharusnya menjadi beban moral terhadap lingkungannya,” urai Ilung.
Sebagai PNS yang diberi tangguang jawab sebagai pengelola kepegawaian dan ketatalaksanaan di tempat tugasnya itu, Ilung kerap merasa prihatin bila ada PNS meremehkan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Misal, tambah Ilung, pada saat jam kerja, PNS justru berkeliaran dan bahkan tidak masuk kantor atau tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas.
“Apakah ini tidak disebut menghiati bangsa dan negara. Padahal semua tahu, gaji PNS dibayar atas dasar jam masuk dan jam kerjanya,” katanya.
Di kantornya, Tahirullah dikenal sebagai pegawai yang sedikit bicara, tapi banyak kerja. Tak heran bila sehari-harinya dihadapkan berbagai data dan angka kepegawaian di lingkungan kerjanya.
Ia punya falsafah (Madura) yang menjadi andalan; “lakone lalakonna, kennengngi kenengnganna” (“kerjakan pekerjaanmu, tempati tempatmu”). “Bila prinsip ini diterapkan semua akan berjalan lancar”, ujarnya tersenyum.
Dua kali ia mendapat penghargaan karena prestasinya dari lembaga instansinya sebagai PNS yang kreatif dan konsisten terhadap tugasnya. Hal itu justru menurutnya menjadi beban moral cukup berat, karena penghargaan itu selalu membayangi diri agar berbuat lebih untuk bangsa dan negara.
“Penghargaan prestasi boleh disebut kebanggaan, tapi sebenarnya merupakan cemeti yang setiap saat melecut nurani saya untuk bekerja lebih aktif dan kreatif’” pungkas Ilung berfilsafat. (san)