Rusdi Umar
Rusdi Umar |
Setelah perbincangan santai di kantor, kami pun bersepakat untuk menjaring ikan. Di tempat saya bertugas, SMP Negeri 1 Masalembu, merupakan daerah pesisir yang dikelilingi pantai, diselimuti laut lepas. Bukan sebuah kebetulan, apalagi dibetul-betulkan jika kemudian kami bersepakat untuk menangkap ikan.
Sebagai komitmen atas sebuah janji, kesepakatan yang harus ditepati, maka saya pun pergi ke pasar. Membeli sepatu "bidung" adalah sebuah keniscayaan untuk lebih aman dari ragam ancaman yang ada di pinggir pantai berkarang dan lagi ber"katoka." Katoka adalah nama lokal untuk ikan pare. Seekor ikan yang mempunyai senjata di ekor yang sangat berbahaya dan bahkan mematikan.
Kesepakatan telah dicapai. Kami berlima; Dimas Anton, Samsul Saleh, Molyadi, dan Moh. Azhar, serta jangan lupa saya sendiri, Rusdi el Umar, berjanji akan bertolak untuk menebar jaring di Pantai Labusadak. Kami bersepakat untuk berangkat ke spot ikan target tangkapan selepas shalat isya'.
Setelah shalat isya', saya bersiap-siap untuk berangkat. Tidak lupa sepatu "bidung" saya masukkan ke dalam keressek. Katanya, sepatu ini sebagai pengaman dari bahaya serangan "katoka." Maka, saya berusaha untuk tidak melupakan hal ini.
Tidak berapa lama, Molyadi datang dengan santainya. Kemudian saya telpon Samsul Saleh, di seberang telpon ia juga sudah bersiap. Tidak lama kemudian kami berangkat bersama-sama, namun sebelumnya mampir dulu ke rumah Moh. Azhar. Jam 20.03 kami semua tiba di rumah Dimas Anton. Pak Anton, biasa kami memanggilnya, rupanya sudah menunggu kedatangan kami. Sebagaimana karakter Pak Anton yang kami kenal, antara ya dan tidak, kami disuguhi jajanan ringan berupa kue lapis. Hanya dalam hitungan detik, kue satu talam (karena wadahnya memang talam) pun ludes. Hee,,, hanya ada satu kata, "Colo' wes-kues."
Tidak terlalu lama di rumah Pak Anton kami pun berangkat menuju area penjaringan ikan. Malam di Labusadak cukup mencekam. Maksudnya, terkesan sepi dan senyap. Bulan masih belum menampakkan batang hidungnya, membuat suasana malam begitu kelam. Meski demikian, kami bebas dari rasa khawatir, takut, dan ngeri, bahkan kami selalu dalam suasana kelakar yang membuat kami sering terbahak. Ada rasa indah dalam kebersamaan yang tidak mampu diungkap oleh barisan kata-kata.
Sebelum berangkat, Mak Rumek menengok kami berlima yang sedang "gariduh" tanpa suatu sebab. Salah seorang dari kami, Moh. Azhar, berkesimpulan bahwa Beliau sedang berpikir sinis, "Dhu olleya tae, ajaring ma' ce' rammena!" Saya yang mendengar kalimat itu tertawa berderai, termasuk juga teman-teman yang lain. Hee,,, memperoleh ikan adalah sebuah kesenangan dan tentu sangat bangga. Tetapi, jauh lebih bermakna adanya kebersamaan di antara kami yang tidak bisa diungkapkan dengan "caca colo'" saja.
Dengan mengendarai motor, kami menuju tempat menebar pukat (jala/jaring). Sebenarnya yang paling tahu medan di antara kami adalah Pak Dimas Anton. Sedangkan yang lain hanya "ro'noro' bhabang," bahkan bisa saja menjadi beban. Tapi, seperti yang telah saya ungkap di atas, kebersamaan adalah kenangan yang paling indah.
Bulan masih menepi. Belum nampak, bahkan meski hanya cercah sinarnya. Tetapi, pukat sudah ditebar. Ya, tentu Pak Dimas Anton yang bekerja sendiri menebar jaring ini. Sedangkan yang lain menunggu di pinggir pantai, hingga pukat selesai dipasang.
Sekitar jam 21.00 tebaran pukat yang pertama pun selesai. Hanya ada dua ikan "maningseng" yang terjerat di pukat kami. Tapi itu sudah menjadi sebuah keberhasilan yang pantas disyukuri. Katoka, dalam bahasa setempat, yaitu ikan pare berseliweran di antara kaki-kaki kami yang menapaki pasir atau karang pantai. Ikan ini cukup berbahaya. Racun sengatnya dapat mengantarkan salah satu di antara kami ke liang kubur. Maka, kami super hati-hati melewati medan yang rawan ini.
Itu lagi yang membuat kami kecewa tapi bahagia. Kecewa karena pare yang terjerat di jaring begitu banyak, termasuk paredung, dan yang ini bukan target kami. Bahagia karena pare (katoka) dan paredung masih bisa dimanfaatkan (dijual).
Setelah keempat kalinya kami menebar pukat, ada lima ikan "maningseng" yang bisa kami tangkap, beberapa ikan "molok", dan banyak sekali pare (katoka) serta "paredung". Hasil tangkapan ini memang tidak sesuai dengan target kami, karena yang kami inginkan lebih banyak dari itu. Tetapi telah ada bukti bahwa kami menebar pukat, ada ikan yang terjerat.
Jam 11.30 kami sepakat untuk berhenti. Tangkapan ikan kami cukupkan sebagai hasil yang memuaskan. Dengan senandung lelah, kami melangkah pulang. Sesampainya di rumah Pak Anton Dimas, kami membasuh diri dengan air tawar. Masih terlihat di raut wajah kami rasa puas, gembira, dan senang tiada tara. Bulan di balik betung mengintip kami yang cekakak-cekikik.
Sekitar jam 00.00 saya sampai di rumah. Rasa lelah menguasai seluruh tubuh. Saya mandi untuk menyegarkan diri. Kemudian merebahkan tubuh untuk beristirahat. Namun masih sempat sedikit bermain-main dengan kata-kata untuk sekadar mem-prasasti-kan kenangan yang tak mungkin saya lupakan.
"Mimpi pun berderai, di antara senarai cahaya bulan. Di cakrawala kami mahsyuk dengan bidadari kahyangan!"
Masalembu, 05032018
*) Katoka adalah ikan pare yang sangat ditakuti dan harus diwaspadai. Jika terkena sengat racun ikan ini, bukan tidak mungkin kita akan dikirim ke alam kubur. Semoga Allah swt melindungi kita dari kejadian menakutkan ini. Aamiin!
Sebagai komitmen atas sebuah janji, kesepakatan yang harus ditepati, maka saya pun pergi ke pasar. Membeli sepatu "bidung" adalah sebuah keniscayaan untuk lebih aman dari ragam ancaman yang ada di pinggir pantai berkarang dan lagi ber"katoka." Katoka adalah nama lokal untuk ikan pare. Seekor ikan yang mempunyai senjata di ekor yang sangat berbahaya dan bahkan mematikan.
Kesepakatan telah dicapai. Kami berlima; Dimas Anton, Samsul Saleh, Molyadi, dan Moh. Azhar, serta jangan lupa saya sendiri, Rusdi el Umar, berjanji akan bertolak untuk menebar jaring di Pantai Labusadak. Kami bersepakat untuk berangkat ke spot ikan target tangkapan selepas shalat isya'.
Setelah shalat isya', saya bersiap-siap untuk berangkat. Tidak lupa sepatu "bidung" saya masukkan ke dalam keressek. Katanya, sepatu ini sebagai pengaman dari bahaya serangan "katoka." Maka, saya berusaha untuk tidak melupakan hal ini.
Tidak berapa lama, Molyadi datang dengan santainya. Kemudian saya telpon Samsul Saleh, di seberang telpon ia juga sudah bersiap. Tidak lama kemudian kami berangkat bersama-sama, namun sebelumnya mampir dulu ke rumah Moh. Azhar. Jam 20.03 kami semua tiba di rumah Dimas Anton. Pak Anton, biasa kami memanggilnya, rupanya sudah menunggu kedatangan kami. Sebagaimana karakter Pak Anton yang kami kenal, antara ya dan tidak, kami disuguhi jajanan ringan berupa kue lapis. Hanya dalam hitungan detik, kue satu talam (karena wadahnya memang talam) pun ludes. Hee,,, hanya ada satu kata, "Colo' wes-kues."
Tidak terlalu lama di rumah Pak Anton kami pun berangkat menuju area penjaringan ikan. Malam di Labusadak cukup mencekam. Maksudnya, terkesan sepi dan senyap. Bulan masih belum menampakkan batang hidungnya, membuat suasana malam begitu kelam. Meski demikian, kami bebas dari rasa khawatir, takut, dan ngeri, bahkan kami selalu dalam suasana kelakar yang membuat kami sering terbahak. Ada rasa indah dalam kebersamaan yang tidak mampu diungkap oleh barisan kata-kata.
Sebelum berangkat, Mak Rumek menengok kami berlima yang sedang "gariduh" tanpa suatu sebab. Salah seorang dari kami, Moh. Azhar, berkesimpulan bahwa Beliau sedang berpikir sinis, "Dhu olleya tae, ajaring ma' ce' rammena!" Saya yang mendengar kalimat itu tertawa berderai, termasuk juga teman-teman yang lain. Hee,,, memperoleh ikan adalah sebuah kesenangan dan tentu sangat bangga. Tetapi, jauh lebih bermakna adanya kebersamaan di antara kami yang tidak bisa diungkapkan dengan "caca colo'" saja.
Dengan mengendarai motor, kami menuju tempat menebar pukat (jala/jaring). Sebenarnya yang paling tahu medan di antara kami adalah Pak Dimas Anton. Sedangkan yang lain hanya "ro'noro' bhabang," bahkan bisa saja menjadi beban. Tapi, seperti yang telah saya ungkap di atas, kebersamaan adalah kenangan yang paling indah.
Bulan masih menepi. Belum nampak, bahkan meski hanya cercah sinarnya. Tetapi, pukat sudah ditebar. Ya, tentu Pak Dimas Anton yang bekerja sendiri menebar jaring ini. Sedangkan yang lain menunggu di pinggir pantai, hingga pukat selesai dipasang.
Sekitar jam 21.00 tebaran pukat yang pertama pun selesai. Hanya ada dua ikan "maningseng" yang terjerat di pukat kami. Tapi itu sudah menjadi sebuah keberhasilan yang pantas disyukuri. Katoka, dalam bahasa setempat, yaitu ikan pare berseliweran di antara kaki-kaki kami yang menapaki pasir atau karang pantai. Ikan ini cukup berbahaya. Racun sengatnya dapat mengantarkan salah satu di antara kami ke liang kubur. Maka, kami super hati-hati melewati medan yang rawan ini.
Itu lagi yang membuat kami kecewa tapi bahagia. Kecewa karena pare yang terjerat di jaring begitu banyak, termasuk paredung, dan yang ini bukan target kami. Bahagia karena pare (katoka) dan paredung masih bisa dimanfaatkan (dijual).
Setelah keempat kalinya kami menebar pukat, ada lima ikan "maningseng" yang bisa kami tangkap, beberapa ikan "molok", dan banyak sekali pare (katoka) serta "paredung". Hasil tangkapan ini memang tidak sesuai dengan target kami, karena yang kami inginkan lebih banyak dari itu. Tetapi telah ada bukti bahwa kami menebar pukat, ada ikan yang terjerat.
Jam 11.30 kami sepakat untuk berhenti. Tangkapan ikan kami cukupkan sebagai hasil yang memuaskan. Dengan senandung lelah, kami melangkah pulang. Sesampainya di rumah Pak Anton Dimas, kami membasuh diri dengan air tawar. Masih terlihat di raut wajah kami rasa puas, gembira, dan senang tiada tara. Bulan di balik betung mengintip kami yang cekakak-cekikik.
Sekitar jam 00.00 saya sampai di rumah. Rasa lelah menguasai seluruh tubuh. Saya mandi untuk menyegarkan diri. Kemudian merebahkan tubuh untuk beristirahat. Namun masih sempat sedikit bermain-main dengan kata-kata untuk sekadar mem-prasasti-kan kenangan yang tak mungkin saya lupakan.
"Mimpi pun berderai, di antara senarai cahaya bulan. Di cakrawala kami mahsyuk dengan bidadari kahyangan!"
Masalembu, 05032018
*) Katoka adalah ikan pare yang sangat ditakuti dan harus diwaspadai. Jika terkena sengat racun ikan ini, bukan tidak mungkin kita akan dikirim ke alam kubur. Semoga Allah swt melindungi kita dari kejadian menakutkan ini. Aamiin!