Birokrasi pemerintah pada umumnya juga merupakan pusat kekuatan politik yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan dan pamrih peribadi atau pamrih golongan. Sistem birokrasi demikian ini menjadi tidak rasional, karena dijabat oleh orang-orang yang tidak seharusnya memangku jabatan. Apalagi dalam posisi jabatan strategis, yang kerap disebut sebagai “jabatan basah”, sehingga tujuan yang seharusnya menjadi pangkal pengembangan di lingkungannya, pada akhirnya semua diatur dan didekte oleh pimpinan utamanya; kemudian munculllah kebijakan satu.
Ketika dalam posisi ini, sumpah jabatan yang menjadi syarat mutlak ketika awal memasusi sebagai PNS, atau ketika akan memasuki kursi jabatan, tidak lagi menjadi tolok ukur, bahkan dinafikan. Pastinya, semua PNS, akan melalui pintu kata-kata sumpah seperti dibawah :
Demi
Allah, saya bersumpah /berjanji:
- bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
- bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
- bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta. akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan:
- bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
- bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
Menghianati hakikat sumpah sama artinya menghianati penjaminNya “Demi Allah”. Takaran sumpah ditentukan dalam hukum, “............ dan janganlah kamu merombak (mencabuli) sumpah kamu sesudah kamu menguatkannya (dengan nama Allah), sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai Penjamin kebaikan kamu; sesungguhnya Allah sedia mengetahui akan apa yang kamu lakukan. 16:91”
Dampaknya dalam penghianatan sumpah membias pada prilaku pegawai atau pejabat yang ditandai dari hal-hal kecil, seperti bolos dan suka melakukan tindakan yang diawali grafitikasi menerima hadiah dari bawahan, uang semir, ganti biaya foto copy, upeti, ucapan terima kasih, sekedar syukuran, dan sejenisnya, hingga uang fee proyek, pengkodisian pengadaan dan sampai tindakan pemotongan bahkan pada penggelapan. Hal ini akan terus berlangsung sampai urutan kepemimpinan dibawahnya.
Pola memanfaatkan peluang bergantung sejauh mana dia “cerdas”, (intilah ini dimunculkan, bagaimana “ketrampilan” bawahan memanfaatkan peluang melalui pendekatan kepada sang pemimpin ), sehingga mereka diposisikan sebagai “orang kepercayaan” yang dapat dijadikan mediator dengan pihak-pihak lainnya. Hal semacam ini bukan rahasia lagi, karena posisi bawahan jenis ini sangat dipentingkan, yang bisa berperan ganda dari semua arah.
Tidak sedikit bawahan yang akhirnya jadi “korban” keganasan sang pemimpin. Ia mengalami stres berat dan bahkan harus sakit lantaran tidak tahan karena telah menjadi tumbal. Apalagi bagi pegawai yang memiliki idealisme tinggi, sehingga dia harus mundur dan bahkan berhenti jadi PNS. Apalacur, pekerjaan yang seharusnya membawa angin segar terhadap fenomena pribadi dan masa depannya, ternyata dinilai sebagai tempat yang hanya dihuni kaum munafik, dengan menghalalkan segala yang haram.
Penulis : Syaf Anton Wr