Idealisme Orang Madura Harus Dipertahankan

Ada beberapa ungkapan yang cukup dikenal orang maduta “Mon bagus pabagas” (kalau engkau ganteng, ya harus gagah), maksudnya seseorang yang cakep harus dilengkapi dengan keperwiraan atau kepahlawanan, yaitu semangat berkorban untuk kepentingan masyarakat.

“Mon kerras paakerres” (kalau engkau keras harus berkeris) maksudnya seseorang yang hendak bertindak tegas harus disertai kewibawaan dan keadilan. Sebuah ketegasan tampa wibawa bisa menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan.

“Mon sogi pasoga’ “(kalau engkau kaya harus tegar), mempunyai arti, seseorang yang kaya harus punya hati tegar untuk menolong kaum miskin.x Dalam ketiga ungkapan tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa, seorang individu, lebih-lebih pemimpin, haruslah bermanfaat bagi masyarakat. Solidaritas antara manusia seyogyanya diwujudkan dengan memanfaatkan kelebihan yang ada pada diri seseorang untuk kepentingan orang banyak sebagai upaya menghargai orang lain. 

Dalam mengenal pandangan hidup orang Madura yang ideal, menurut Zawawi tidak boleh seseorang itu ngerrep oreng sala, (menyembunyikan, melindungi dan membela orang yang salah). Jika seseorang melindungi orang yang salah ia akan dipandang sama dosanya dengan orang yang salah tersebut.

Kalau ada orang Madura yang berbuat aniaya, malas, suka menipu dan manipulasi, suka mengganggu hak orang lain, jelas ia telah keluar dari tatanan nilai idealistik sebagai konsensus yang telah disepakati bersama. 

Sikap tercela lainnya dalam pandangan hidup orang Madura, raja cethak (besar kepala alias sombong), acethak dhuwa’ (berkepala dua alias munafik), tama’ (rakus), dan lain-lain. Sikap seperti itu harus dihindari karena bisa merusak persaudaraan dan pergaulan.

Namun dalam perkembangannya, ajaran dan pandangan hidup orang Madura sudah mulai tercerabut dari akarnya. Perubahan paradigma tentang hidup dan kehidupan sudah mulai banyak melenceng sebagaimana ajaran-ajaran yang ditanamkan dari generasi sebelumnya.

Sebagian manusia Madura sebagaimana banyak terlihat selama ini, sudah mulai kehilangan jati dirinya, kehilangan nurani sebagaimana diisyarakan oleh agama maupun kearifan lokal Madura. Pada waktu lalu, akan merasa bila orang Madura disebut-sebut bukan penganut agama Islam, namun sekarang pemikiran-pemikiran itu sudah mulai tertepiskan (tulisan awal: Memahami Pandangan Hidup Orang Madura)

Syaf Anton Wr