Memahami Pandangan Hidup Orang Madura

Kesan miring tentang Madura sebenarnya akibat tindak tanduk negatif sebagian kecil orang Madura di perantauan. Salah satu contoh, ludruk Surabaya yang populer pada tahun 1950-an sering menampilkan cerita Pak Sakera, laki-laki beringas yang banyak menumpahkan darah. 

Tokoh legendaris yang banyak merenggut nyawa dengan celuritnya itu agaknya, secara simbolis telah dianggap mewakili sosok laki-laki Madura. Ditambah lagi ada segelintir orang Madura yang menjadi barisan “Cakra” yang dikoordinir penjajah Belanda pada zaman revolusi fisik. 

Barisan itu terdiri dari orang-orang Madura yang digunakan Belanda untuk menghancurkan kedaulatan R.I. di pulau Jawa. Kebanyakan mereka terdiri dari buruh kasar, pekerja pelabuhan, penjual sate, buruh dan pedagang kecil yang terdesak oleh tekanan ekonomi, di samping mereka tidak mengerti nasionalisme. Karena bujukan Belanda akhirnya mau menjadi serdadu bayaran.

Miringnya imej tentang orang Madura itu ialah karena kurangnya informasi yang luas yang mampu untuk menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya. Selama ini publikasi tentang Madura belum mengungkapkan sikap krakteristik orang Madura secara mendasar sehingga denyut lubuk jantung Madura yang sebenarnya masih sedikit sekali dikenal orang.

Dalam sastra lisan Madura pernah berkembang dengan semarak. Sebelum ada radio dan televisi sering dijumpai seorang nenek di bawah bulan purnama berdongeng kepada cucu-cucunya. Tradisi bertutur sebelum tahun 1970-an menjadi kegiatan yang mengasikkan. Namun sekarang sulit dijumpai, karena para orang tua lebih mengurus diri dan membiarkan putra-putrinya bercengkrama dengan produk teknologi mutakhir, dengan gadget model terbaru.

Selain itu, orang Madura membuat perahu maupun rumah, selalu dihiasi dengan ukir-ukiran. Ciri ukiran Madura itu, banyak berupa tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan dan sedikit sekali yang berupa binatang. Sampai pertengahan abad ke-20 ukiran Madura masih digemari masyarakat Madura. Bahkan, secara umum benda-benda yang dipakai orang Madura dihiasi ukir-ukiran, seperti gamparan (alas kaki dari kayu), jantera, centong nasi, balai-balai, peralatan kerapan sapi dan benda-benda lainnya.

Sedang kesenian Madura yang lain seperti, topeng dhalang, sandur, pojian, ratep, pantil, sintung, sronen dan lain-lain merupakan warisan budaya Madura masa lampau yang banyak diperlihatkan para pengamat seni karena karakter Maduranya yang spesifik. Dari semua hasil kreatif orang Madura yang berupa kesenian itu secara umum bisa disimpulkan adanya ekspresi estetik orang Madura. 

Juga dalam pepatah “abantal omba’ asapo’ angen” tersirat gejolak jiwa yang ingin melanglangbuana serta kesiapan dan ketabahan untuk melawan segenap rintangan betapapun besar dan hebatnya. Hal itu dibuktikan pula dengan banyaknya orang Madura yang suka merantau, mengadu untung di negeri orang, baik menjadi pedagang kaki lima, penjaja sayur, penjual sate, pedagang buah-buahan, pekerja kasar dan ada pula yang pedagang menengah dan usahawan. (bersambung: Taat Agama dan Rendah Hati)