Masjid Agung Sumenep diantara kampung |
Sebutan kampung (kampong) pernah populer di kota Sumenep, namun beberapatahun belakangan sebutan itu jarang dan bahkan tidak lagi digunakan. Mungkin lantaran masyarakatnya sudah banyak memahami bacaan, sehingga lebih kental menyebut nama jalan.
Beda dengan wilayah pedesaan, masyarakat setempat masih lekat dan fasih menyebut nama “kampong”, meski berjarak lain desa. Hal ini memang nama-nama jalan yang ada tidak begitu akrab, dan jarang disebut.
Sebagai misal, di kota Sumenep terdapat “kampong Pajagalan” (sekarang jadi kelurahan), karena ditempat itu terdapat rumah jagal sapi, yang terletak di Jl. Dr. Cipto ujung paling utara. Di jalan yang sama terdapat sebutan “kampong ba’anding” (?), yaitu sebuah lahan sawah terbuka yang terletak sekitar kantor Pemkab. Kearah timur terdapat perkampungan “kampong pajikaran”, karena masyarakat setempat mempunyai usaha transportasi “jikar” (cikar). Terus kebarat di Jl. Trunojo sebelah timur (depan BPRS sekitarnya) disebut “kampong karangraba”, karena disitu terdapat rawa. Dst.
Di Kepanjin terdapat “kampong pujhangghan”, (pujangga) karena diwilayah itu masuk lingkup keluarga keraton. Saya tidak tahu apakah di kampung itu pernah lahir pujangga. Di Jalan Haperkus, pernah ada “kampong sar-sore” (pasar sore), karena dilokasi itu terdapat pasar sore, yang digelar setiap sore. Dst.
Di Karangduak, tepatnya di Jl. Pepaya terdapat “kampong pacenan”, karena di jalan itu terdapat sejumlah keturunan Cina bermukim. “Kampong karangsabu” (pekuburan dan sekitarnya), karena dulunya, katanya, terdapat kebun sabu. Dst.
Di jalan Berlian Bangselok, disebut “kampog pajhinggha’an” karena pernah ada (sentra), pewarnaan kain. “Sar ajam”, pojok utara Jl. Manikam terdapat pasar ayam (waktu pasar Anom masih ada di kantor Pepusda dan sekitarnya). “Kampong labangan”, dulu di perempatan pelar bara’ terdapat pintu gerbang dan pagar dorong (gellidighan) di Jl. KH Zainal Arifin dari utara sampai pertigaan Jl. Barito, dan dilokasi ini disebut “kampong pajhingan” (?) terus keselatan sedikit sampai STIT Aqidah Usymuni dan disekitarnya disebut “kampong pajikaran”, karena karena masyarakat setempat memanfaat jikar sebagai usaha transportasi. Dst.(san)
Beda dengan wilayah pedesaan, masyarakat setempat masih lekat dan fasih menyebut nama “kampong”, meski berjarak lain desa. Hal ini memang nama-nama jalan yang ada tidak begitu akrab, dan jarang disebut.
Sebagai misal, di kota Sumenep terdapat “kampong Pajagalan” (sekarang jadi kelurahan), karena ditempat itu terdapat rumah jagal sapi, yang terletak di Jl. Dr. Cipto ujung paling utara. Di jalan yang sama terdapat sebutan “kampong ba’anding” (?), yaitu sebuah lahan sawah terbuka yang terletak sekitar kantor Pemkab. Kearah timur terdapat perkampungan “kampong pajikaran”, karena masyarakat setempat mempunyai usaha transportasi “jikar” (cikar). Terus kebarat di Jl. Trunojo sebelah timur (depan BPRS sekitarnya) disebut “kampong karangraba”, karena disitu terdapat rawa. Dst.
Di Kepanjin terdapat “kampong pujhangghan”, (pujangga) karena diwilayah itu masuk lingkup keluarga keraton. Saya tidak tahu apakah di kampung itu pernah lahir pujangga. Di Jalan Haperkus, pernah ada “kampong sar-sore” (pasar sore), karena dilokasi itu terdapat pasar sore, yang digelar setiap sore. Dst.
Di Karangduak, tepatnya di Jl. Pepaya terdapat “kampong pacenan”, karena di jalan itu terdapat sejumlah keturunan Cina bermukim. “Kampong karangsabu” (pekuburan dan sekitarnya), karena dulunya, katanya, terdapat kebun sabu. Dst.
Di jalan Berlian Bangselok, disebut “kampog pajhinggha’an” karena pernah ada (sentra), pewarnaan kain. “Sar ajam”, pojok utara Jl. Manikam terdapat pasar ayam (waktu pasar Anom masih ada di kantor Pepusda dan sekitarnya). “Kampong labangan”, dulu di perempatan pelar bara’ terdapat pintu gerbang dan pagar dorong (gellidighan) di Jl. KH Zainal Arifin dari utara sampai pertigaan Jl. Barito, dan dilokasi ini disebut “kampong pajhingan” (?) terus keselatan sedikit sampai STIT Aqidah Usymuni dan disekitarnya disebut “kampong pajikaran”, karena karena masyarakat setempat memanfaat jikar sebagai usaha transportasi. Dst.(san)