Macan Ngèrep Kokona

Dalam kehidupan, kita tidak asing mendengar ungkapan “Diam itu emas”, kemudian dipahami diam adalah ibadah yang tanpa bersusah payah, diam adalah perhiasan bibir tanpa berhias dengan pemerah, diam adalah kehebatan tanpa kerajaan, benteng tanpa pagar, kekayaan tanpa meminta kepada orang, istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal, penutup segala aib.

Diam itu emas, orang Madura menyebut “Macan ngèrep kokona” (harimau menyembunyikan kukunya), ini merupakan runtutan dari akibat bahwa orang Madura lebih bersifat “bhârânca” (cakap berbicara), komunikatif dan mudah bergaul. Miisal kita perhatikan bahwa orang Madura gampang menuturkan bahasa Jawa , meski kerap “ethol-sottollaghi” (dipaksakan) kemudian menjadi fasih, dibanding orang Jawa belajar berbahasa Madura, yang cenderung lamban.

Sedang orang yang tidak suka banyak bicara disebut “laèp cacana (jarang berkata-kata). Orang ini dinilai sebagai orang yang mempunyai kearifan dan budi luhur serta kaya ilmu pengetahuan, dan bahkan diumpamakan “gheddheng bhiru” (pisang hijau), pisang yang rasanya enak, lembut dan halus meski kulitnya seperti pisang muda dan terkesan mentah.

“Macan ngerep kokona” mengiaskan sikap orang yang memilih lebih banyak diam, tapi pada saat diperlukan akan mengeluarkan pendapat yang tepat dan jitu. Dalam pribahasa dikatakan “aèng sondhâng nandhâ’aghi dâlemma lèmbung” (air mengalir balik menandakan dalamnya lubuk).

Ada pula disebut ”martabhât ghung tema” (ibarat gong (terbuat) timah) yaitu tidak akan bergema, kecuali ditabuh secara khusus dengan gamelan yang lain. Orang macam ini juga dikatakan “mon tao jhâlanna jhâlani (kalau tahu jalannya jalani) dan “patao bila neng-enneng, patao bila acaca” (tahu kapan saat diam dan saatnya berbicara).

Namun diam tidak sampai disitu ada ungkapan “neng-ennengnga bessè tattaèn (diamnya besi berkarat). Ini hanya suatu peringatan bahwa sebesar apapun ilmunya harus diasah, diasuh dan ditumbuhkan agar sejalan dengan “neng-ennengnga obi abighi” (diamnya ubi berisi) yang besar manfaatnya bagi lingkungan. Selain itu ada pula “du’ nondu’ kocèng” (tunduk seperti kucing), yaitu sifat dirinya diam dan tersembunyi, dan kadang pula terkandung niat tak terpuji.

“Tadâ’ bato’ tada’ essim” (tidak ada batuk tidak ada bersin) inilah sifat orang Madura pendiam, tidak banyak bicara namun sering membuat kejutan. Hampir semua kegiatan dilakukan diam-diam tanpa banyak orang tahu,tapi wujudnya nyata. 

Beda dengan “se ngeddem dâlem” (yang diam ternyata memendam lebih dalam). Ini perbuatan yang diluar dugaan, seperti “to’ koto’ amonyè egghung’ (berbisik berbunyi gong) sifat orang yang tanpa diduga melahirkan karya yang besar dan menakjubkan.

***
“Orang yg paling saya cintai di antara kalian dan paling dekat denganku adalah orang yg baik akhlaknya, dan orang yg paling saya benci di antara kalian dan paling jauh denganku adalah orang yg jelek akhlaknya, yaitu orang yg banyak bicara, orang yg menghina orang lain dg perkataannya dan orang yg sombong.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ad-Dunya)